Interaksi Komunikasi Dalam Wawancara Penelitian Kualitatif
Monday, March 26, 2018
Edit
Telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya yang berjudul “wawancara dalam pengumpulan data penelitian kualitatif”, wawancara menjadi instrument pengumpulan data yang utama. Sebagian besar data diperoleh melaui wawancara, untuk itu penguasaan teknik wawancara sangat mutlak dipelukan. Satu hal yang perlu diperhatikan oleh peneliti ketika melakukan wawancara, jangan sampai subyek merasa seperti sedang diintrogasi oleh peneliti. Jika subyek merasa bahwa dirinya diintrogasi, maka subyek akan merasa tidak nyaman dan merasa terancam karena dalam introgasi terkandung unsur tekanan dari salah satu pihak. Jika hal ini sampai terjadi, maka kejujuran dan keterbukaan subyek akan terganggu yang nantinya akan mempengaruhi validitas data yang diperoleh.
Komunikasi dalam wawancara memiliki beberapa tingkatan, dimana dalam setiap tingkatan, terdapat situasi-situasi yang berbeda. Tingkatan dalam interaksi ada tiga. Tiga tingkatan interaksi komunikasi yang terjadi ketika wawancara antara lain:
#1. Interaksi tingkat Satu
Layaknya pertemuan pertama, interaksi tingkat satu merupakan interaksi pembuka yang relatif aman nyaman, penuh dengan penerimaan sosial, tidak ada tekanan, dan lebih santai. Penelitian dan subyek penelitian masih berada pada pemikiran dan ide-idenya masing-masing, topik-topik yang dibicarakan masih bersifat umum dan belum spesifik membahas topik yang utama. Saling memperkenalkan diri umumnya isi dari interaksi tingkat satu ini. Basa-basi masih sangat kental pada interaksi tingkat satu, sehingga belum terdapat prasangka judgment serta masih belum mengungkap sikap atau perasaan masing-masing pihak.
Dalam interaksi tingkat satu, trust antara kedua pihak masih sangat kecil. Biasanya masing-masing pihak masih menggunakan topeng, dan jarak personal masih jauh. Dalam tingkat ini, ketika terjadi ketidaknyamanan dari salah satu pihak (biasannya interviewee/subyek penelitian), yang biasa terjadi adalah penarikan diri atau melakukan ego defences macthanism. Jika interaksi tingkat satu ini berjalan dengan baik dan lancar, maka akan dilanjutkan dengan interksi tingkat dua.
#2. Interaksi Tingkat Dua
Pada interaksi tingkat dua, percakapan antara interviewer dan interviewee sudah semakin spesifik, sudah ada kecocokan secara personal, sudah terdapat pembicaraan-pembacaraan kontroversial yang sehat. Selain itu, materi pembicaraan sudah menyangkut hal-hal yang bersifat pribadi seperti nilai, sikap, kepercayaan (trust), dan lain sebagainya.
Dalam interaksi tingkat dua, percakapan sudah separuh ‘aman’ yang berarti bahwa pembicaraan sudah mulai mengungkap hal-hal yang agak pribadi tetapi belum sepenuhnya terbuka. Ide-ide, perasaan dan berbagai informasi sudah mulai dapat tergali karena trust yang mulai muncul. Pembicaraan yang sifatnya superfisial (yang tidak terlalu penting) sudah mulai ditinggalkan. Tetapi, perlu diwaspadai bahwa resiko subyek untuk menarik diri juga masih ada ketika subyek menemukan ketidak nyamanan atau ada kalimat-kalimat yang sensitif dalam komunikasi pada tingkat dua ini.
#3. Interaksi tingkat tiga
Pada interaksi tingkat tiga, percakapan antara interviewer dan interviewee sudah sangat dekat, trust sudah terbentuk sempurna. Pembicaraan antara kedua perties sudah semakin intim, dan sudah melibatkan pembicaraan yang bersifat kontroversial. Masing-masing parties sudah semakin terbuka dalam mengemukakan perasaan, sikap, persepsi, dan lain sebagainya.
Penggalian data yang mendalam dalam menyangkut hal-hal penting sudah dapat dilakukan ada interksi tingkat tiga. Proses memahami akan semakin mudah jika interaksi komunikasi sudah mencapai interaksi tingkat tiga. Semakin dalam tingkatan interaksi komunikasi antara peneliti dengan subyek penelitian, maka data yang diperoleh akan semakin dapat dipertanggung jawabkan sebagai saran, sebaiknya jangan pernah menarik kesimpulan dalam proses wawancara sebelum interaksi komunikasi sampai pada tingkat tiga
Ada beberapa hal yang perlu diingat sebagai seorang peneliti ketika melakukan wawancara dalam penelitian kualitatif. Hal tersbut berkaitan dengan fungsi peneliti dalam proses wawancara antara lain;
Pertama, ingatlah selalu bahwa peneliti sebagai interviewer, berfungsi bukan hanya sebagai penggali data tetapi lebih jauh lagi yaitu untuk memahami subyek yang diteliti.
Kedua; pertimbangkan situasi dan kondisi ketika ingin wawancara. Hal tersebut berkaitan dengan fleksibitas penggalian data, yaitu jika situasi dan kondisi tidak memungkinkan untuk dilakukan wawancara pada saat yang ditentukan, sebagai proses wawancara ditunda saja demi menjaga keoptimalan data yang dihasilkan.
Ketiga, peneliti kualitatif harus jeli melihat simbol yang terjadi selama wawancara dan jangan abaikan hal kecil yang terjadi (untuk kepentingan observasi).
Keempat, jangan lupa selalu membawa catatn kecil untuk mencatat hal yang terjadi secara tiba-tiba karena biasanya selalu ada hal hal yang penting yang terjadi secara tidak terduga ketika proses wawancara berlangsung.
Demikian ulasan artikel terkait dengan Interaksi komunikasi dalam wawancara penelitian kualitatif yang kami lansir dari buku yang berjudul “wawancara, observasi, dan focus groups” yang ditulis oleh Haris Herdiansyah pada tahun 2013 yang diterbitkan oleh Kharisma Putra Utama Offset di Jakarta. Semoga bermanfaat dan terima kasih.